Riau, orang sering menghubungkan provinsi ini dengan minyaknya yang berlimpah. Namun, bagaimana dengan asal usul Riau sehingga dapat menjadi sebuah provinsi seperti Riau yang dikenal saat ini?
Tentu tidak lepas dari sejarah yang membangunnya. Membicarakan sebuah kajian tentang asal-usul sebuah nama daerah tentu cukup menarik untuk disimak, salah satunya kajian tentang asal-usul nama Riau. Hasil kajian Hasan Junus, seorang peneliti naskah Melayu di Riau mencatat paling kurang ada 3 kemungkinan asal nama Riau. Pertama toponomi Riau berasal dari penamaan orang portugis dengan kata Rio yang berarti sungai. Secara etimologis kata “Riau” berasal dari kata “Rio” (Bahasa Portugis) yang berarti “sungai”. Misalnya Rio de Janeiro artinya Sungai Januari. Di pulau Bintan ada sebuah sungai yang bernama Rio, yaitu sungai Rio. Dari kata Rio ini berubah menjadi Riau. Orang Belanda menulis kata Riau ini dengan “Riouw” dan sekarang dikenal tulisan Riouw dengan perkataan Riau saja.
Kedua mungkin berasal dari tokoh sinbad Al-bahar dalam kitab Alfu Laila Wa laila (seribu satu malam) yang menyebut Riahi,yang berarti air atau laut. Hal ini pernah di kemukakan oleh Oemar Amin Husin. Seorang tokoh masyarakat dan pengarang asal Riau dalam salah satu pidatonya mengenai terbentuknya propinsi Riau. Ketiga, berasal dari penuturan masyarakat setempat. Lafalz atau ucapan sehari-hari masyarakat sekitar, seperti Ucapan sehari-hari dalam masyarakat Siak dikenal kata “meriau” yang artinya musim ikan bermain-main, di Kuantan Sengingi “meriau” berarti suatu cara mengumpulkan ikan pada suatu tempat untuk mudah ditangkap dalam jumlah besar. Dari meriau ini berubah menjadi kata Riau. Disamping itu dalam masyarakat Kepulauan Riau, dikenal pula kata “Rioh”. Di angkat dari kata Rioh atau Riuh, yang berarti ramai, Hiruk pikuk orang bekerja. Kata Rioh yang dimaksud disini mungkin adalah suara yang ramai di pusat kerajaan Melayu Riau. Pusat kerajaan itu terletak di sebelah hulu sungai Carang yang ramai suaranya karena kesibukan perdagangan yang keluar masuk pusat kota. Pusat perdagangan itu dikenal dengan nama “Bandar Rioh” yang didirikan oleh Sultan Ibrahim Syah (1671-1682) dalam Kemaharajaan Melayu. Bila dihubungkan pengertian Rio yang artinya sungai dengan kata Rioh yang artinya suara yang ramai, terdapat suatu pengertian yang hampir sama. Sungai Riau ini terletak pada arus lalu lintas perdagangan internasional di Selat Malaka.
Nama Riau yang berasal dari penuturan orang melayu setempat, kabarnya ada hubungannya dengan peristiwa didirikannnya negeri baru di sungai Carang, Untuk dijadikannya pusat kerajaan. Hulu sungai inilah yang kemudian bernama Ulu Riau. Adapun peristiwa itu kira-kira mempunyai teks sebagai berikut:
Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke makam Tuhid (ibu kota Kerajaan Johor) di perintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan, di muara sungai itu mereka kehilangan arah. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “dimana tempat orang-orang raja mendirikan negeri ?” mendapat jawaban “Di sana di tempat yang rioh”, Sambil mengisaratkan ke hulu sungai menjelang sampai ketempat yang di maksud jika di tanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab “mau ke rioh”
Berdasarkan beberapa keterangan di atas maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja Kecik memindahkan pusat kerajaan melayu dari Johor ke Ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu, nama ini di pakai sebagai salah satu negeri dari 4 negeri utama yang membentuk Kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang. Kemudian dengan perjanjian London 1824 antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbagi menjadi dua.
Bagian Johor, Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, sedangkan belahan bagian Riau-Lingga berada dibawah pengaruh Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda 1905-1942, nama Riau di pakai untuk sebuah karesidenan yang daerahnya meliputi kepulauan Riau serta Pesisir timur sumatera bagian tengah. Demikian juga pada saat zaman Jepang, nama Riau juga masih di pertahankan. Setelah Provinsi Riau terbentuk pada tahun 1958, nama Riau masih dipergunakan sampai sekarang ini.
Jembatan Sultan Abdul Jalil Alamuddin / Jembatan Siak IV |
SEJARAH KOTA PEKANBARU
Nama Pekanbaru dahulunya dikenal dengan nama “Senapelan” yang saat itu dipimpin oleh seorang Kepala Suku disebut Batin. Daerah ini terus berkembang menjadi kawasan pemukiman baru dan seiring waktu berubah menjadi Dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak.
Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kota Pekanbaru pekanbaru.go.id, Pada tanggal 9 April Tahun 1689, telah diperbaharui sebuah perjanjian antara Kerajaan Johor dengan Belanda (VOC) dimana dalam perjanjian tersebut Belanda diberi hak yang lebih luas. Diantaranya pembebasan cukai dan monopoli terhadap beberapa jenis barang dagangan. Selain itu Belanda juga mendirikan Loji di Petapahan yang saat itu merupakan kawasan yang maju dan cukup penting.
Karena kapal Belanda tidak dapat masuk ke Petapahan, maka Senapelan menjadi tempat perhentian kapal-kapal Belanda, selanjutnya pelayaran ke Petapahan dilanjutkan dengan perahu-perahu kecil. Dengan kondisi ini, Payung Sekaki atau Senapelan menjadi tempat penumpukan berbagai komoditi perdagangan baik dari luar untuk diangkut ke pedalaman, maupun dari pedalaman untuk dibawa keluar berupa bahan tambang seperti timah, emas, barang kerajinan kayu dan hasil hutan lainnya.
Terus berkembang, Payung Sekaki atau Senapelan memegang peranan penting dalam lalu lintas perdagangan. Letak Senapelan yang strategis dan kondisi Sungai Siak yang tenang dan dalam membuat perkampungan ini memegang posisi silang baik dari pedalaman Tapung maupun pedalaman Minangkabau dan Kampar. Hal ini juga merangsang berkembangnya sarana jalan darat melalui rute Teratak Buluh (Sungai Kelulut), Tangkerang hingga ke Senapelan sebagai daerah yang strategis dan menjadi pintu gerbang perdagangan yang cukup penting.
Perkembangan Senapelan sangat erat dengan Kerajaan Siak Sri Indra Pura. Semenjak Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah menetap di Senapelan, beliau membangun Istana di Kampung Bukit dan diperkirakan Istana tersebut terletak disekitar lokasi Mesjid Raya sekarang. Sultan kemudian berinisiatif membuat pekan atau pasar di Senapelan namun tidak berkembang. Kemudian usaha yang dirintis tersebut dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah meskipun lokasi pasar bergeser di sekitar Pelabuhan Pekanbaru sekarang.
Kota Pekanbaru |
Akhirnya menurut catatan yang dibuat oleh Imam Suhil Siak, Senapelan yang kemudian lebih popular disebut Pekanbaru resmi didirikan pada tanggal 21 Rajab hari Selasa tahun 1204 H bersamaan dengan 23 Juni 1784 M oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah dibawah pemerintahan Sultan Yahya yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.
Sejak ditinggal oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, penguasaan Senapelan diserahkan kepada Datuk Bandar yang dibantu oleh empat Datuk besar yaitu Datuk Lima Puluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Pesisir dan Datuk Kampar. Mereka tidak memiliki wilayah sendiri tetapi mendampingi Datuk Bandar. Keempat Datuk tersebut bertanggungjawab kepada Sultan Siak dan jalannya pemerintahan berada sepenuhnya ditangan Datuk Bandar.
Selanjutnya perkembangan tentang pemerintahan di Kota Pekanbaru selalu mengalami perubahan.
____________________________
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Riau
http://melayuonline.com/
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
https://titikkata.com/
thanks for your comments