KAJIAN PENGELOLAAN TANAH TERHADAP TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN TLOGOWUNGU DENGAN MENGGUNAKAN METODE USLE DAN GIS
(disarankan akses melalui dekstop/laptop untuk tampilan Optimal)
IV. HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum
Daerah penelitian terletak di
Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati secara astronomis terletak pada garis
lintang 6,61o-6,73o LS dan garis bujur 110,91o-111,05o
BT. Kecamatan Tlogowungu memiliki luas wilayah 9.466 ha, dengan ketinggian
tempat dari 50-1500 mdpl.
Secara administrasi Kecamatan
Tlogowungu, Kabupaten Pati dibatasi oleh beberapa wilayah administrasi lain
yaitu sebagai berikut:
a.
Sebelah Utara :
Kecamatan Gunungwungkal,
b.
Sebelah Selatan :
Kecamatan Margorejo,
c.
Sebelah Timur :
Kecamatan Wedarijaksa,
d.
Sebelah Barat :
Kecamatan Gembong
Batas-batas wilayah Kecamatan
Tlogowungu tersebut untuk lebih jelasnya disajikan pada Peta 1. Peta
Administrasi Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
Wilayah Kecamatan Tlogowungu menurut data
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati memiliki jumlah lahan kritis
seluas 797,40 ha. Kondisi lahan di daerah Kecamatan Tlogowungu Kabupaten
Pati merupakan daerah yang berlereng dan berbukit dengan kemiringan datar
sampai curam. Penggunaan lahan pada lokasi penelitian yaitu meliputi: tegalan,
sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun, dan permukiman.
B. Kondisi Iklim
Pada daerah penelitian, Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati memiliki temperatur
rata-rata bulanan lebih besar dari 21°C, untuk rerata curah hujan lebih dari 1500 mm per tahun.Wilayah Kecamatan Tlogowungu tergolong iklim tropis, musim
hujan terjadi sekitar bulan Nopember sampai bulan April/ Mei. Rata-rata curah
hujan tertinggi pada bulan Januari sedangkan terendah pada bulan Agustus. Untuk
rerata hujan tiap bulan pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 6. Rerata
Curah Hujan Kecamatan Tlogowungu.
Tabel 6.
Tabel Rerata Curah Hujan Kecamatan Tlogowungu.
Bulan
|
Rerata Curah Hujan Tiap Bulan Periode 1995-2004 (cm)
|
||||||||||
1995
|
1996
|
1997
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
Jml Rerata CH(cm)
|
|
Januari
|
25.1
|
18.1
|
39.6
|
57.1
|
38.2
|
14.6
|
20.5
|
15.8
|
19.8
|
11.9
|
26.07
|
Pebruari
|
36.6
|
13.2
|
27.3
|
39.7
|
31.6
|
15.1
|
10.1
|
18.8
|
31.6
|
22.4
|
24.64
|
Maret
|
12.2
|
11.5
|
16.5
|
33.3
|
17.9
|
17.2
|
14.8
|
27.9
|
27.8
|
19.6
|
19.87
|
April
|
10.1
|
19.3
|
16.2
|
25
|
11
|
13.9
|
18.4
|
32.2
|
13.9
|
10.9
|
17.09
|
Mei
|
6.5
|
13
|
7.6
|
15.5
|
18.9
|
11.9
|
5.9
|
12
|
3.4
|
13.8
|
10.85
|
Juni
|
0
|
5.5
|
5.7
|
16
|
17.3
|
7.6
|
0
|
7.4
|
11.9
|
5.3
|
7.67
|
Juli
|
0
|
5.4
|
0.7
|
0
|
12.3
|
12.2
|
0
|
17.6
|
3.3
|
3.9
|
5.54
|
Agustus
|
0
|
9.5
|
0.8
|
0
|
8.2
|
13.4
|
0.2
|
3
|
5.6
|
7
|
4.77
|
September
|
0
|
18.7
|
0.5
|
0
|
9
|
9.5
|
0
|
13.3
|
4
|
5.7
|
6.07
|
Oktober
|
5
|
18
|
4.2
|
0
|
12
|
21.2
|
0
|
15.4
|
9
|
7
|
9.18
|
Nopember
|
20.3
|
20
|
5.4
|
21.4
|
35.2
|
25.9
|
2
|
28.3
|
16.8
|
13.1
|
18.84
|
Desember
|
35.1
|
20.5
|
17.1
|
31.7
|
27.1
|
22
|
29.9
|
25.2
|
26.2
|
21.1
|
25.59
|
Jumlah
|
150.9
|
172.7
|
141.6
|
239.7
|
238.7
|
184.5
|
101.8
|
216.9
|
173.3
|
141.7
|
176.18
|
Sumber:
Balai Pusat Statistik Kabupaten Pati.
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten
Pati menurut sistem klasifikasi iklim Koppen tergolong dalam tipe Am (iklim
tropika basah atau variasi antara iklim Af dan Aw). Iklim Am adalah peralihan
antara Af dan Aw dicirikan persediaan air tanah cukup. Tipe iklim tersebut
diperoleh dari Diagram Koppen pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Koppen (
Anonim, 2005).
Klasifikasi iklim Koppen merupakan klasifikasi utama yang berdasarkan
pada hubungan antara iklim dan pertumbuhan vegetasi. Tipe Koppen digunakan untuk
iklim pada tumbuhan/ vegetasi. Menurut Koppen, vegetasi yang hidup secara alami
menggambarkan iklim tempat tumbuhnya. Vegetasi tersebut tumbuh dan berkembang
sesuai dengan hujan efektif yaitu kesetimbangan antara hujan, suhu dan
evaporasinya. Jumlah hujan yang sama akan berbeda kegunaannya bila jatuh pada musim yang berbeda. Oleh karena itu
batas-batas klasifikasi Koppen berkaitan dengan batas-batas penyebaran vegetasi
(Handoko, 1994).
Iklim Koppen digunakan untuk iklim pada tumbuhan/ vegetasi, di Kecamatan
Tlogowungu memiliki tipe iklim Am menurut klasifikasi Koppen berarti bahwa
ketersediaan air tanah untuk tumbuhan pada musim kemarau tercukupi pada jangka
waktu satu tahun.
C. Satuan
Lahan
1. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada lokasi
penelitian Kecamatam Tlogowungu sebagian besar berupa tegalan. Untuk penggunaan
lahan Kecamatan Tlogowungu disajikan pada Peta 2. Peta Penggunaan Lahan
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
2. Jenis Tanah
Jenis tanah Kecamatan Tlogowungu
meliputi tanah inceptisols, alfisols dan oksisols, tanah pada wilayah
penelitian disajikan pada Peta 3. Peta Jenis Tanah Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
3. Formasi Geologi
Daerah penelitian termasuk
dalam formasi geologi Qvlm (Lava Muria) dan Qvtm (Tuf Muria) yang mana termasuk
dalam lembar (Quadrangle) Kudus. Lava Muria (Qvlm), di permukaan
didominasi oleh sebaran lava, leusit, trakit dan sienit. Tufa Muria (Qvm), di
permukaan didominasi oleh sebaran tufa, lahar dan tufa pasiran. tufa umumnya
melapuk menengah, berwarna abu-abu kecoklatan, kurang padu, berlapis kurang
baik. Formasi geologi pada daerah penelitian disajikan pada Peta 4. Peta
Geologi Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
4. Kemiringan Lereng
Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati memiliki kemiringan lereng dari datar sampai curam. Kemiringan
lereng pada lokasi penelitian disajikan pada Peta 5. Peta Kemiringan
Lereng Kecamatan
5. Hasil Homogenitas Penggunaan Lahan, Jenis
Tanah, Formasi Geologi, Dan Kemiringan Lereng Menjadi Satuan Lahan.
Besarnya erosi pada daerah
penelitian dihitung berdasarkan tiap satuan lahan yang terbentuk. Satuan lahan
diperoleh dengan mengoverlay
beberapa sifat/ karakteristik lahan yang terdiri dari penggunaan lahan,
jenis tanah, formasi geologi, serta kemiringan lereng. Dari hasil penelitian di
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati diperoleh data satuan lahan yang disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7.
Karakteristik Satuan Lahan Kecamatan Tlogowungu
SPL
|
Luas SPL (ha)
|
Penggunaan Lahan
|
Jenis Tanah
|
Kelas Lereng
|
1
|
249.23
|
Kebun
|
Vertic Dystrudepts
|
curam
|
2
|
73.58
|
Tegalan
|
Vertic Dystrudepts
|
sangat miring
|
3
|
299.08
|
Tegalan
|
Vertic Dystrudepts
|
curam
|
4
|
342.83
|
Tegalan
|
Vertic Dystrudepts
|
sangat miring
|
5
|
157.49
|
Sawah tadah hujan
|
Vertic Dystrudepts
|
sangat miring
|
6
|
243.25
|
Tegalan
|
Chromic Vertic Hapludalfs
|
sangat miring
|
7
|
378.47
|
Tegalan
|
Chromic Vertic Hapludalfs
|
sangat miring
|
8
|
154.82
|
Sawah Irigasi
|
Chromic Vertic Hapludalfs
|
sangat miring
|
9
|
274.89
|
Tegalan
|
Lithic Dystrudepts
|
sangat miring
|
10
|
162.63
|
Sawah tadah hujan
|
Lithic Dystrudepts
|
miring
|
11
|
639.50
|
Tegalan
|
Chromic Vertic Hapludalfs
|
miring
|
12
|
589.13
|
Tegalan
|
Chromic Vertic Hapludalfs
|
datar
|
13
|
63.53
|
Sawah Irigasi
|
Chromic Vertic Hapludalfs
|
miring
|
14
|
460.76
|
Tegalan
|
Lithic Dystrudepts
|
miring
|
15
|
214.10
|
Tegalan
|
Lithic Dystrudepts
|
miring
|
16
|
329.10
|
Kebun
|
Lithic Dystrudepts
|
datar
|
17
|
375.60
|
Tegalan
|
Lithic Dystrudepts
|
datar
|
18
|
136.01
|
Kebun
|
Lithic Dystrudepts
|
datar
|
19
|
512.25
|
Tegalan
|
Typic Hapludoxs
|
datar
|
20
|
483.70
|
Kebun
|
Typic Hapludoxs
|
datar
|
21
|
375.30
|
Kebun
|
Vertic Dystrudepts
|
datar
|
22
|
889.71
|
Tegalan
|
Vertic Dystrudepts
|
datar
|
23
|
859.69
|
Sawah Irigasi
|
Vertic Dystrudepts
|
datar
|
Jumlah
|
8264.649
|
Sumber: Survai Lapang Tahun 2006
Satuan lahan daerah penelitian
pada Tabel 7. diperoleh berdasarkan konsep homogenitas
karakteristik lahan (distribusi dan kategori penggunaan lahan, jenis tanah,
formasi geologi dan kemiringan lereng yang diperoleh dari interpretasi lahan).
Dari Tabel 7. Karakteristik Satuan Lahan Kecamatan Tlogowungu didapat sebanyak
23 satuan lahan. Peta satuan lahan disajikan pada Peta 6. Peta Satuan Lahan Kecamatan Tlogowungu Kabupaten
Pati.
1. Faktor Erosivitas Hujan
Erosivitas hujan ialah kemampuan air hujan untuk menghancurkan dan menghanyutkan partikel tanah.
Jadi merupakan fungsi sifat fisik curah hujan, meliputi jumlah hujan, lama
hujan, ukuran butir serta kecepatan jatuh butir hujan yang menentukan
kemampuannya dalam menghancurkan dan menghanyutkan partikel tanah (Baver,1960).
Nilai indeks curah hujan
pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8.
Indeks Erosivitas Hujan (IR) Di
Kecamatan Tlogowungu
Bulan
|
Rerata Curah Hujan Bulanan (P) cm
|
IR
|
Januari
|
26.07
|
186.35
|
Pebruari
|
24.64
|
172.59
|
Maret
|
19.87
|
128.8
|
April
|
17.09
|
104.93
|
Mei
|
10.85
|
56.56
|
Juni
|
7.67
|
35.29
|
Juli
|
5.54
|
22.67
|
Agustus
|
4.77
|
18.5
|
September
|
6.07
|
25.67
|
Oktober
|
9.18
|
45.06
|
Nopember
|
18.84
|
119.81
|
Desember
|
25.59
|
181.7
|
IR
|
176.18
|
1097.93
|
Sumber : Hasil Analisis Lab.Fisika dan Konservasi Tanah
Dari Tabel 8. Nilai Indeks
Erosivitas (IR) daerah penelitian adalah 1097,93. Angka tersebut diperoleh
berdasarkan rumus IR = 2.21 P 1.36.
Intensitas hujan juga mempengaruhi ukuran butir hujan, hujan dengan intensitas
rendah banyak mengandung butir hujan berukuran kecil, sedangkan hujan badai
dengan intensitas yang tinggi banyak mengandung butir hujan berukuran besar.
Erosi terbesar akan terjadi apabila jumlah hujan yang jatuh besar dengan
intensitas yang besar pula. Seperti yang disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9.
Pengaruh Jumlah Hujan Dan Intensitas Hujan terhadap Erosi
Jumlah hujan (mm)
|
Intensitas Maksimum
|
Waktu Hujan
|
Penghanyutan Tanah
|
(mm/jam/10 menit)
|
(ton/ha)
|
||
65
|
7.5
|
30 jam
|
1
|
47.5
|
70
|
1 jam + 52 menit
|
128
|
22.5
|
87.5
|
15 menit
|
5.5
|
Sumber : Baver (1960).
Adanya keragaman dalam laju
erosi pada tiap bulan pada daerah penelitian ternyata ada keterkaitan yang erat antar kondisi-kondisi
seperti pengelolaan tanah dengan musim, karena semua perlakuan yang diberikan
terhadap tanah dilakukan bergantung kepada musim. Umumnya pengelolaan tanah
dilakukan pada akhir musim kemarau menjelang musim penghujan yaitu pada bulan
Oktober, begitu juga halnya dengan pemeliharaan tanaman yang umumnya dilakukan
pada musim penghujan. Adanya keragaman musiman dari erosi tanah tampaknya
berkaitan erat dengan curah hujan yang jatuh sepanjang tahun yang beragam baik
dalam jumlah maupun intensitasnya, serta persentase penutupan tanah yang juga
beragam sepanjang tahun. Perbedaan seperti itu tentunya berpengaruh terhadap
laju erosi sebagai akibat berbedanya erosivitas hujan. Artinya hujan yang lebat
dan lama pada musim penghujan jelas mempunyai erosivitas yang tinggi
dibandingkan dengan hujan yang terjadi pada musim kemarau.
2. Faktor Erodibilitas Tanah
Erodibilitas menunjukkan
nilai kepekaan suatu jenis tanah terhadap daya penghancuran dan penghanyutan
air hujan. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kepekaan tanah yaitu sifat
fisik tanah dan pengelolaan tanah. Tanah dengan indeks erodibilitas tinggi
adalah tanah yang peka atau mudah tererosi, sedangkan tanah dengan indeks
erodibilitas rendah selalu diartikan bahwa tanah itu resisten atau tahan
terhadap erosi. Nilai erodibilitas tanah Kecamatan Tlogowungu disajikan pada
Tabel 10.
Tabel 10. Nilai Erodibilitas (K) Tanah Pada Tiap Satuan Lahan.
Tabel 10. Nilai Erodibilitas (K) Tanah Pada Tiap Satuan Lahan.
SPL
|
Indeks Tekstur Tanah (M)
|
BO
|
Permeabilitas*
|
Struktur
|
Nilai K
|
Klasifikasi K*
|
1
|
1947.82
|
0.1430
|
Sedang
|
Gumpal menyudut
|
0.265
|
Sedang
|
2
|
1947.82
|
0.1430
|
Sedang
|
Gumpal menyudut
|
0.265
|
Sedang
|
3
|
1947.82
|
0.1430
|
Sedang
|
Gumpal menyudut
|
0.265
|
Sedang
|
4
|
1947.82
|
0.1430
|
Sedang
|
Gumpal menyudut
|
0.265
|
Sedang
|
5
|
1947.82
|
0.1430
|
Sedang
|
Gumpal menyudut
|
0.265
|
Sedang
|
6
|
1112.49
|
0.0707
|
lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.245
|
Sedang
|
7
|
1112.49
|
0.0707
|
lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.245
|
Sedang
|
8
|
1112.49
|
0.0707
|
lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.245
|
Sedang
|
9
|
1588.95
|
0.1412
|
agak lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.260
|
Sedang
|
10
|
1588.95
|
0.1412
|
agak lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.260
|
Sedang
|
11
|
1112.49
|
0.0707
|
lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.245
|
Sedang
|
12
|
1112.49
|
0.0707
|
lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.245
|
Sedang
|
13
|
1112.49
|
0.0707
|
lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.245
|
Sedang
|
14
|
1588.95
|
0.1412
|
agak lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.260
|
Sedang
|
15
|
1588.95
|
0.1412
|
agak lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.260
|
Sedang
|
16
|
1588.95
|
0.1412
|
agak lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.260
|
Sedang
|
17
|
1588.95
|
0.1412
|
agak lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.260
|
Sedang
|
18
|
1588.95
|
0.1412
|
agak lambat
|
Gumpal menyudut
|
0.260
|
Sedang
|
19
|
245.44
|
0.0718
|
agak lambat
|
Granuler sedang
|
0.091
|
sangat rendah
|
20
|
245.44
|
0.0718
|
agak lambat
|
Granuler sedang
|
0.091
|
sangat rendah
|
21
|
682.31
|
0.0707
|
agak lambat
|
Gumpal membulat
|
0.171
|
rendah
|
22
|
682.31
|
0.0707
|
agak lambat
|
Gumpal membulat
|
0.171
|
rendah
|
23
|
682.31
|
0.0707
|
agak lambat
|
Gumpal membulat
|
0.171
|
rendah
|
Sumber :
Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
* Pengharkatan
permeabilitas dan klasifikasi nilai K berdasarkan Arsyad, 1989.
Besarnya nilai K ditentukan
oleh tekstur, struktur, permeabilitas, dan bahan organik tanah. Penentuan
besarnya nilai K dilakukan dengan menggunakan rumus Wischmeier et al., 1971
sebagai berikut:
100 K = 1,292{2,1M 1,14
(10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3)}
Dimana: M adalah Indeks
tekstur tanah, dengan a adalah kandungan bahan organik (% C x 1,724), b adalah
harkat struktur tanah.
Dari hasil penelitian, nilai
erodibilitas pada SPL 1, 2, 3, 4 dan 5 mempunyai nilai yang tinggi dibandingkan
dengan SPL yang lain, tingginya nilai tersebut menyebabkan SPL 1, 2, 3, 4 dan 5
memiliki kepekaan yang tinggi terhadap erosi (mudah tererosi) dibandingkan
dengan SPL yang lainnya. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya nilai
erodibilitas pada kelima SPL tersebut adalah tingginya nilai indeks tekstur
tanah dibandingkan pada SPL yang lain. Penentuan nilai indeks tekstur tanah
disajikan pada (Lampiran 1.) Indeks Tekstur Tanah Pada Tiap Satuan Lahan.
Tanah-tanah
pasir lebih tahan terhadap erosi dibandingkan dengan tanah debu, hal tersebut
disebabkan karena pasir memiliki pori besar yang banyak sehingga kapasitas
infiltrasinya tinggi dan pasir yang berukuran besar lebih tahan terhadap
penghanyutan. Sedangkan tanah-tanah yang mengandung debu mudah tererosi
karena debu dengan ukuran 0,002-0,06 mm sangat mudah dihanyutkan air, debu
mudah jenuh air sehinga kapasitas infiltrasinya cepat menurun dan kemantapan
struktur sangat rendah. Tanah yang
paling stabil dan tahan tererosi adalah tanah bertekstur liat. Walaupun liat
miskin akan pori-pori besar sehingga infiltrasinya sangat rendah, namun di
pihak lain liat mempunyai kelebihan dibanding debu dan pasir yaitu kemantapan
struktur yang tinggi dan kapasitas penampungan air yang tinggi.
Sifat fisik tanah terhadap
erosi yang paling penting yaitu tentang kapasitas infiltrasi air kedalam tanah
dan kepekaan terhadap kekuatan yang menghancurkan. Kapasitas infiltrasi adalah kemampuan tanah
dalam merembeskan air yang terdapat di permukaan atau aliran air permukaan ke
bagian tanah tersebut, yang
dengan sendirinya adanya perembesan itu aliran air permukaan akan sangat
terpengaruh.
Jelasnya makin besar aliran kapasitas infiltrasi maka aliran permukaan
akan berkurang. Sebaliknya makin kecil kapasitas infiltrasi yang disebabkan
banyaknya pori tanah yang tersumbat, maka aliran permukaan makin bertambah atau
meningkat. Yang banyak menentukan daya infiltrasi air dari permukaan tanah
adalah faktor tekstur tanah, dan pemadatan tanah.
Permeabilitas pada tanah
daerah penelitian termasuk kategori agak lambat sampai sedang. Jumlah
dan ukuran serta kemantapan pori akan sangat menentukan kapasitas atau
kemampuan infiltrasi tanah,
terutama jumlah pori-pori yang berukuran besar, makin banyak pori-pori yang
besar maka kapasitas infiltrasinya makin besar pula. Tanah dengan permeabilitas
yang rendah/ lambat dapat menyebabkan peningkatan aliran permukaan karena air
sukar masuk ke dalam pori-pori tanah sehingga dapat menyebabkan tanah semakin
peka terhadap erosi
Tentang kandungan bahan organik pengaruhnya terhadap
erodibilitas, yaitu dengan meningkatnya kandungan bahan organik tanah menjadikan berkurangnya erodibilitas
tanah (Undang Kurnia, 2004). Akan tetapi pada daerah penelitian ternyata pada
SPL dengan kandungan bahan organik yang tinggi dibandingkan dengan SPL yang
lain, yaitu pada SPL 1, 2, 3, 4 dan 5 memiliki nilai erodibilitas yang tinggi,
yaitu sebesar 0.265 dengan kriteria sedang. Hal tersebut dikarenakan faktor
yang mempengaruhi nilai erodibilitas bukan hanya bahan organik, faktor lain
yang mempengaruhi seperti indeks tekstur tanah, permeabilitas, dan struktur
tanah menyebabkan SPL tersebut memiliki nilai erodibilitas yang tinggi
dibandingkan dengan SPL yang lainnya.
Struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil dari tanah, akibat
melekatnya butir-butir tanah satu sama lain. Strukur berkaitan dengan agregasi
dan susunan butir-butir tanah. Pada daerah penelitian struktur tanahnya adalah
gumpal menyudut, granuler sedang dan gumpal membulat terlihat dalam Tabel 10.
Struktur tanah yang demikian dikarenakan pada daerah penelitian kandungan liat
pada tanah sudah cukup banyak.
3.
Faktor Panjang Dan Kemiringan Lereng
Panjang lereng, kemiringan lereng dan bentuk lereng termasuk dalam faktor
topografi yang mempengaruhi erosi. Makin panjang lereng, kecepatan aliran
permukaan akan semakin besar, sehingga tanah permukaan yang terkikis menjadi
bertambah besar. Nilai faktor panjang lereng dan kemiringan lereng disajikan
pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai Faktor Panjang Lereng (L) &Kemiringan Lereng (S) Pada Tiap Satuan Lahan
Tabel 11. Nilai Faktor Panjang Lereng (L) &Kemiringan Lereng (S) Pada Tiap Satuan Lahan
SPL
|
Kemiringan Lereng (%)
|
Kelas Kemiringan Lereng
|
Panjang Lereng (m)
|
LS
|
1
|
42%
|
Curam
|
238
|
7.084297
|
2
|
23%
|
Sangat Miring
|
123
|
0.933881
|
3
|
29%
|
Curam
|
318
|
2.934604
|
4
|
24%
|
Sangat Miring
|
223
|
1.386436
|
5
|
24%
|
Sangat Miring
|
296
|
1.597054
|
6
|
22%
|
Sangat Miring
|
126
|
0.780331
|
7
|
16%
|
Sangat Miring
|
275
|
0.395595
|
8
|
16%
|
Sangat Miring
|
352
|
0.447943
|
9
|
21%
|
Sangat Miring
|
165
|
0.809874
|
10
|
14%
|
Miring
|
110
|
0.158766
|
11
|
12%
|
Miring
|
200
|
0.125792
|
12
|
6%
|
Datar
|
256
|
0.012785
|
13
|
11%
|
Miring
|
212
|
0.106048
|
14
|
13%
|
Miring
|
136
|
0.149401
|
15
|
11%
|
Miring
|
193
|
0.101821
|
16
|
3%
|
Datar
|
178
|
0.000417
|
17
|
6%
|
Datar
|
174
|
0.010616
|
18
|
6%
|
Datar
|
130
|
0.009195
|
19
|
4%
|
Datar
|
259
|
0.002463
|
20
|
2%
|
Datar
|
228
|
0.000164
|
21
|
3%
|
Datar
|
294
|
0.000485
|
22
|
2%
|
Datar
|
403
|
0.000195
|
23
|
3%
|
Datar
|
328
|
0.000500
|
Sumber : Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
Nilai faktor panjang lereng dan kemiringan lereng diperoleh dari
persamaan rumus Gregory et al. 1977:
Tentang kemiringan lereng ternyata pengaruhnya terhadap aliran
permukaan dan daya penghanyutannya adalah berbeda. Pada satu pihak kemiringan
mempengaruhi perbandingan infiltrasi dan aliran permukaan dan pada pihak yang
lain ternyata kemiringan berpengaruh juga terhadap kecepatan aliran permukaan.
Pada kemiringan tanah yang miring mengalirnya air hujan dipermukaan tidak akan
secepat pada kemiringan yang curam, sehingga kesempatan air untuk masuk kedalam
tanah akan lebih besar, dan hal demikian akan mengurangi adanya aliran
permukaan yang menyebabkan terjadinya erosi. Baver (1960) telah melakukan
penelitian/ percobaan dengan hasil seperti pada Tabel 12. Pengaruh Kemiringan Tanah
Terhadap Tingkat Bahaya Erosi.
Tabel 12. Pengaruh Kemiringan Tanah Terhadap Tingkat Bahaya Erosi
Kemiringan Tanah (%)
|
Erosi (Ton/ha)
|
5
|
33,25
|
10
|
100,25
|
15
|
167,75
|
20
|
228,25
|
Sumber:
Baver (1960)
Untuk daerah penelitian satuan lahan yang memiliki panjang lereng
terbesar yaitu SPL 22 dengan panjang lereng 403 meter ternyata
mempunyai faktor panjang dan kemiringan lereng yang relatif
kecil apabila dibandingkan dengan SPL 1 yang mempunyai panjang lereng 238
meter tetapi justru memiliki faktor panjang dan kemiringan lereng yang paling tinggi diantara SPL yang lain sebesar 7.084.
Hal tersebut dikarenakan SPL 1 meskipun panjang lerengnya lebih kecil
dibandingkan dengan SPL 22 tetapi memiliki kemiringan lereng yang besar yaitu
dengan kemiringan 26-45(%) tepatnya 42%, hal demikian yang menyebabkan SPL 1
mempunyai faktor LS yang tinggi dibandingkan dengan SPL 22 yang meskipun
memiliki panjang lereng besar namun untuk kemiringan lerengnya adalah termasuk
dalam kriteria datar yaitu sebesar 2%. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemiringan
lereng sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai LS selain faktor panjang
lerengnya.
4. Faktor Penutupan Lahan Dan Tindakan Konservasi
Tanah
Setiap jenis
penggunaan lahan dan jenis vegetasi dominan pada tiap satuan lahan beserta
tindakan konservasi tanah yang dilakukan di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati
dirinci kedalam Tabel 13. Faktor
Penutupan Lahan Dan Tindakan
Konservasi Tanah (CP)
Tabel
13. Faktor Penutupan Lahan Dan Tindakan Konservasi Tanah (CP)
SPL
|
Penggunaan Lahan
|
Vegetasi Dominan
|
Nilai C*
|
Tindakan
Konservasi
|
Nilai P**
|
CP
|
1
|
Kebun
|
Kopi
|
0.200
|
Penaman
menurut kontur ( 20%)
|
0.900
|
0.1800
|
2
|
Tegalan
|
Pisang
|
0.600
|
Penaman menurut kontur (
20%)
|
0.900
|
0.5400
|
3
|
Tegalan
|
Ketela Pohon
|
0.195
|
Teras bangku Konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.0683
|
4
|
Tegalan
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras bangku Konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.0683
|
5
|
Sawah tadah hujan
|
Padi
|
0.561
|
Teras
bangku konstruksi baik
|
0.040
|
0.0224
|
6
|
Tegalan
|
Ketela Pohon
|
0.195
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.0683
|
7
|
Tegalan
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.0683
|
8
|
Sawah Irigasi
|
Padi
|
0.561
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.1964
|
9
|
Tegalan
|
ketela pohon
|
0.195
|
Teras bangku konstruksi
sedang
|
0.150
|
0.0293
|
10
|
Sawah tadah hujan
|
Padi
|
0.561
|
Teras bangku konstruksi
sedang
|
0.150
|
0.0842
|
11
|
Tegalan
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.0683
|
12
|
Tegalan
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.0683
|
13
|
Sawah Irigasi
|
Padi
|
0.561
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.1964
|
14
|
Tegalan
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.0683
|
15
|
Tegalan
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
0.350
|
0.0683
|
16
|
Kebun
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras tradisional
|
0.400
|
0.0780
|
17
|
Tegalan
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras tradisional
|
0.400
|
0.0780
|
18
|
Kebun
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras tradisional
|
0.400
|
0.0780
|
19
|
Tegalan
|
Tebu
|
0.200
|
Teras tradisional
|
0.400
|
0.0800
|
20
|
Kebun
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Tanpa tindakan konservasi
|
1.000
|
0.1950
|
21
|
Kebun
|
Jati
|
0.200
|
Tanpa tindakan konservasi
|
1.000
|
0.2000
|
22
|
Tegalan
|
Ketela pohon
|
0.195
|
Teras tradisional
|
0.400
|
0.0780
|
23
|
Sawah
Irigasi
|
Padi
|
0.561
|
Teras bangku konstruksi
sedang
|
0.150
|
0.0842
|
Nilai C berdasarkan Lampiran 5. Nilai Faktor C
** Nilai P berdasarkan Lampiran 6. Nilai Faktor P Untuk berbagai tindakan konservasi tanah
|
Sumber: Survai
Lapang Tahun 2006
Vegetasi memiliki peranan
besar dalam menghambat dan mencegah keberlangsungan erosi. Vegetasi selain akan
melindungi tanah dari pukulan langsung air hujan dapat pula memperbaiki
struktur tanah melalui penyebaran akar-akarnya. Selain itu juga mengurangi
kecepatan aliran permukaan, melindungi penggerusan tanah oleh aliran permukaan,
mendorong perkembangan biota tanah yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan
kimia tanah. Dengan ditambah pengaruh perakaran maka kapasitas infiltrasi tanah
meningkat dan aliran permukaan berkurang. Pengaruh vegetasi terhadap bahan
organik tanah sangat tinggi, karena semakin banyak sisa-sisa vegetasi maka
bahan organik tanah juga akan bertambah, hal ini berpengaruh positif terhadap
resistensi tanah terhadap erosi.
Untuk tindakan
konservasi tanah yang dilakukan di Kecamatan Tlogowungu, pada umumnya meliputi tindakan pembuatan teras, dan penanaman
menurut kontur. Teras bangku atau disebut juga teras tangga, dibangun
terutama untuk mengurangi panjang lereng. Teras ini disarankan dibuat pada
lahan agak miring sampai dengan miring dan mempunyai kedalaman efektif yang
dalam/ tebal. Untuk teras bangku sendiri terdiri dari teras bangku dengan
konstruksi baik, konstruksi sedang dan konstruksi kurang baik serta teras
tradisional. Pada lahan dengan kemiringan 20-30% kriteria teras bangku
konstruksi baik yaitu selain tebal, juga memiliki sisi teras yang dalam (50-80
cm). Untuk teras bangku dengan konstruksi sedang dicirikan adanya sebagian dari
sisi teras yang telah rusak disamping konstruksinya yang tidak teratur. Teras bangku dengan
konstruksi kurang baik selain dicirikan
konstruksinya yang tidak teratur, juga dicirikan banyak terdapat sisi teras
yang rusak/hilang. Sedangkan teras tradisional merupakan jenis teras lain, yang
dibuat untuk tanaman tahunan, teras dibuat dengan interval yang bervariasi
menurut jarak tanah
(Anonim, 2007).
Pembuatan sengkedan atau
teras-teras pada lereng yang panjang pada daerah penelitian bertujuan mengurangi
panjang lereng dan ini berarti kecepatan laju aliran permukaan mengalami
hambatan, dengan dibuatnya sengkedan laju aliran air akan demikian diperlamban
sehingga menjadikan daya angkut dan atau daya pengikisannya akan sangat lemah,
bahkan sebaliknya infiltrasi air ke dalam tanah akan meningkat, sehingga dapat
mengurangi terjadinya erosi.
Untuk faktor P (tindakan konservasi) pada daerah
penelitian rata-rata adalah dengan pembuatan teras bangku dengan konstruksi
yang kurang baik, yaitu meliputi SPL 3, 4,
6, 7, 8, 11, 12, 13, 14 dan 15. Sedangkan
untuk lahan dengan tanpa tindakan konservasi meliputi lahan pada SPL 20 dan 21. Teras merupakan metode konservasi yang ditujukan
untuk mengurangi panjang lereng, menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan
jumlah aliran permukaan, serta memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah.
Tipe teras yang relatif banyak dikembangkan pada lahan penelitian adalah teras
bangku atau teras tangga. Teras bangku dibuat dengan cara memotong panjang
lereng dan meratakan tanah dibagian bawahnya, sehingga terjadi suatu deretan
bangunan yang berbentuk seperti tangga, teras bangku dengan konstruksi sedang
dapat dilihat pada Lampiran 14. Foto Lahan SPL 23 Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati. Pada usaha tani di daerah penelitian tersebut fungsi utama dari
teras bangku adalah selain mempermudah pengolahan tanah juga memperlambat laju
aliran air pada permukaan khususnya pada waktu musim penghujan.
Dengan nilai P yang tinggi belum tentu menyebabkan nilai faktor CP
menjadi tinggi, hal tersebut dikarenakan adanya faktor lain yaitu faktor C yang
mempengaruhi nilai faktor CP. Seperti pada Tabel 13. pada SPL 20 dan 21 memiliki nilai faktor P terbesar yaitu
1,00 akan tetapi pada SPL 20 dan 21 memiliki nilai CP yang lebih rendah
dibandingkan dengan SPL 2 yang memiliki nilai faktor P sebesar 0,9. Hal tersebut dikarenakan pada SPL 2
memiliki nilai faktor C yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai faktor C
pada SPL 20 dan 21.
E. Tingkat Bahaya Erosi
Besarnya
nilai erosi aktual di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati diperoleh dengan
rumus USLE ( perhitungan nilai R, K, L,
S,CP) pada tiap satuan lahan, dan nilai erosi aktual untuk tiap satuan lahan
disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14.
Besar Erosi Aktual Pada Tiap Satuan Lahan
SPL
|
R
|
K
|
LS
|
CP
|
A (ton/ha/thn)
|
1
|
1097.93
|
0.2649
|
7.084297
|
0.1800
|
370.874
|
2
|
1097.93
|
0.2649
|
0.933881
|
0.5400
|
146.670
|
3
|
1097.93
|
0.2649
|
2.934604
|
0.0683
|
58.294
|
4
|
1097.93
|
0.2649
|
1.386436
|
0.0683
|
27.541
|
5
|
1097.93
|
0.2649
|
1.597054
|
0.0224
|
10.405
|
6
|
1097.93
|
0.2447
|
0.780331
|
0.0683
|
14.319
|
7
|
1097.93
|
0.2447
|
0.395595
|
0.0683
|
7.259
|
8
|
1097.93
|
0.2447
|
0.447943
|
0.1964
|
23.636
|
9
|
1097.93
|
0.2598
|
0.809874
|
0.0293
|
6.769
|
10
|
1097.93
|
0.2598
|
0.158766
|
0.0842
|
3.813
|
11
|
1097.93
|
0.2447
|
0.125792
|
0.0683
|
2.308
|
12
|
1097.93
|
0.2447
|
0.012785
|
0.0683
|
0.235
|
13
|
1097.93
|
0.2447
|
0.106048
|
0.1964
|
5.596
|
14
|
1097.93
|
0.2598
|
0.149401
|
0.0683
|
2.911
|
15
|
1097.93
|
0.2598
|
0.101821
|
0.0683
|
1.984
|
16
|
1097.93
|
0.2598
|
0.000417
|
0.0780
|
0.009
|
17
|
1097.93
|
0.2598
|
0.010616
|
0.0780
|
0.236
|
18
|
1097.93
|
0.2598
|
0.009195
|
0.0780
|
0.205
|
19
|
1097.93
|
0.0915
|
0.002463
|
0.0800
|
0.020
|
20
|
1097.93
|
0.0915
|
0.000164
|
0.1950
|
0.003
|
21
|
1097.93
|
0.1713
|
0.000485
|
0.2000
|
0.018
|
22
|
1097.93
|
0.1713
|
0.000195
|
0.0780
|
0.003
|
23
|
1097.93
|
0.1713
|
0.000500
|
0.0842
|
0.008
|
Sumber:
Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
Setelah didapat nilai R, K, LS
dan CP dari data survai lapang dan analisis laboratorium, maka didapat nilai besaran laju erosi dengan satuan
ton/ha/tahun. Dari besar erosi masing-masing SPL dikelompokkan kedalam kelas
bahaya erosi. Setelah kedalaman tanah dan kelas bahaya erosi diketahui maka
dapat ditentukan tingkat bahaya erosi masing-masing SPL dan kemudian diperoleh
nilai tingkat bahaya erosi pada masing-masing SPL. Yang dimaksud dengan tingkat
bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan
tabel solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan
konservasi tanah tidak mengalami perubahan. Jumlah maksimum tanah hilang ini agar
produktivitas lahan tetap lestari, pada dasarnya harus lebih kecil atau sama
dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembentukan tanah.
Untuk
menentukan tingkat bahaya erosi, digunakan pendekatan kedalaman tanah dan
besarnya erosi pada masing-masng
SPL sebagai dasar. Untuk kedalamnan tanah diperoleh dari pengukuran dilapang.
Pengukuran kedalaman tanah dilakukan pada tiap jenis tanah yang ada di Kecamatan Tlogowungu. Besarnya
Tingkat Bahaya Erosi dapat dilihat pada Tabel 15. Tingkat Bahaya Erosi
Pada Tiap Satuan Lahan
Tabel 15. Tingkat Bahaya Erosi
Pada Tiap Satuan Lahan
SPL
|
KELAS BAHAYA EROSI*
|
KEDALAMAN TANAH
|
TBE *
|
1
|
IV
|
30-60 (Dangkal)
|
Sangat Berat
|
2
|
III
|
30-60 (Dangkal)
|
Sangat Berat
|
3
|
II
|
30-60 (Dangkal)
|
Berat
|
4
|
II
|
30-60 (Dangkal)
|
Berat
|
5
|
I
|
30-60 (Dangkal)
|
Sedang
|
6
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
7
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
8
|
II
|
60-90 (Agak dalam)
|
Sedang
|
9
|
I
|
30-60 (Dangkal)
|
Sedang
|
10
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
11
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
12
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
13
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
14
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
15
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
16
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
17
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
18
|
I
|
60-90 (Agak dalam)
|
Ringan
|
19
|
I
|
> 90 (dalam)
|
Sangat Ringan
|
20
|
I
|
> 90 (dalam)
|
Sangat Ringan
|
21
|
I
|
> 90 (dalam)
|
Sangat Ringan
|
22
|
I
|
> 90 (dalam)
|
Sangat Ringan
|
23
|
I
|
> 90 (dalam)
|
Sangat Ringan
|
|
Sumber: Hasil
Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
Tingkat bahaya erosi di
Kecamatan Tlogowungu dapat diketahui luasannya, untuk luasan berdasarkan
tingkat bahaya erosi di Kecamatan Tlogowungu disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16.
Luas Tingkat Bahaya Erosi Kecamatan Tlogowungu
Tingkat Bahaya Erosi
|
Luas (ha)
|
Sangat Ringan
|
3120.65
|
Ringan
|
3592.08
|
Sedang
|
587.20
|
Berat
|
641.90
|
Sangat Berat
|
322.81
|
Jumlah
|
8264.65
|
Sumber:
Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
Dari keseluruhan hasil penelitian tingkat bahaya erosi di Kecamatan Tlogowungu
Kabupaten Pati, ternyata lahan dengan tingkat bahaya erosi ringan memiliki
luasan yang paling tinggi (3592,08 ha). Hal tersebut perlu diperhatikan karena tingkat bahaya erosi ringan
dapat menjadi sedang, berat maupun sangat berat mengingat banyaknya faktor yang
mempengaruhi tingkat bahaya erosi. Pada daerah penelitian Kecamatan
Tlogowungu khususnya untuk daerah dengan
tingkat bahaya erosi sedang sampai dengan sangat berat perlu usaha konservasi
dalam rangka mengurangi terjadinya erosi. Peta tingkat bahaya erosi di
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati beserta luasannya disajikan pada Peta
7. Peta Tingkat Bahaya Erosi
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
F. Pola Pengelolaan Tanah
1. Identifikasi Pola Pengelolaan Tanah
Perbedaaan penggunaan lahan akan mempengaruhi tindakan pengelolaan tanah
pada lahan tersebut. Secara umum, ada tiga pola pengolahan tanah yang
dilaksanakan petani di daerah penelitian seperti pada Tabel 17. yaitu meliputi:
(i) Olah Tanah Konservasi (OTK), (ii) Olah Tanah Intensif (OTI), dan (iii)
Tanpa Olah Tanah (TOT).
Tabel 17. Identifikasi Pola
Pengolahan Tanah.
SPL
|
Pengolahan Tanah
|
Tindakan Konservasi Tanah (Mekanik)
|
Pola Tanam
|
1
|
Olah Tanah minimum/OTK
|
Penaman menurut kontur (
20%)
|
Tumpangsari
|
2
|
Olah Tanah minimum/OTK
|
Penaman menurut kontur (
20%)
|
Tumpangsari
|
3
|
Olah Tanah minimum/OTK
|
Teras bangku Konstruksi
kurang baik
|
Tanaman dalam larikan
|
4
|
Olah Tanah minimum/OTK
|
Teras bangku Konstruksi
kurang baik
|
Tumpangsari
|
5
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
baik
|
Tumpangsari
|
6
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
Tumpangsari
|
7
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
Tumpangsari
|
8
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
Tiap petak lahan
|
9
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
sedang
|
Tumpangsari
|
10
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
sedang
|
Tumpangsari
|
11
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
Tiap petak lahan
|
12
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
Campuran
|
13
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
Tiap petak lahan
|
14
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
Tumpangsari
|
15
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
kurang baik
|
Campuran
|
16
|
Olah Tanah minimum/ OTK
|
Teras tradisional
|
Tiap petak lahan
|
17
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras tradisional
|
Tiap petak lahan
|
18
|
Olah Tanah minimum/ OTK
|
Teras tradisional
|
Campuran
|
19
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras tradisional
|
Tiap petak lahan
|
20
|
Tanpa Olah Tanah
|
Tanpa tindakan konservasi
|
Campuran
|
21
|
Tanpa Olah Tanah
|
Tanpa tindakan konservasi
|
Campuran
|
22
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras tradisional
|
Campuran
|
23
|
Olah Tanah Intensif
|
Teras bangku konstruksi
sedang
|
Tumpangsari
|
Sumber: Hasil Analisis
Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
(i). Olah Tanah Konservasi (OTK)/
Pengolahan Tanah Minimal: Tidak
semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan
sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah. (ii). Pengolahan tanah dengan pola OTI, memiliki
orientasi untuk memaksimalkan usaha tani dengan melakukan tindakan pengolahan
tanah yang sifatnya intensif/ rutin
(iii).Tanpa olah tanah (TOT): Tanah yang akan ditanami tidak diolah dan
sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, penanaman
dilakukan dengan tugal.
Pengolahan
tanah dengan pola OTK (Olah Tanah minimum), bermaksud untuk menjaga
keberlanjutan lahan dengan melakukan tindakan pengolahan tanah yang sesuai
dengan kaidah-kaidah konservasi, Olah Tanah Konservasi sebagai suatu cara
pengolahan tanah yang bertujuan untuk menyiapkan tanah agar tanaman dapat
tumbuh dan berproduksi optimum, namun tetap memperhatikan aspek konservasi
tanah dan air.
Pada lokasi penelitian, masyarakat mengolah tanahnya dengan pola Olah Tanah
Minimum/Konservasi (OTK)
dengan tindakan konservasi yang disesuaikan dengan keadaan lahan. Pengolahan
tanah secara OTK disajikan pada Gambar 2.
Pada lahan yang lerengnya curam, telah dibuat bangunan konservasi seperti
pembuatan rorak. Sedangkan pada lokasi yang sangat miring sampai datar, telah
dibuat teras bangku konstruksi kurang baik, konstruksi sedang, teras
tradisional dan tanpa tindakan konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
telah memiliki kesadaran dalam melakukan pengolahan tanah yang sifatnya tetap
menjaga kelestarian lahan disamping keberlanjutan usaha taninya. Pola OTK ini
terlihat pada SPL dengan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) yang sangat berat, berat
dan ringan, meliputi: (i) TBE sangat berat: SPL 1 dan 2. (ii) TBE berat: SPL 3
dan 4. Untuk Tingkat Bahaya Erosi (TBE) disajikan pada Tabel 15. Tingkat Bahaya Erosi Pada Tiap Satuan Lahan.
Pola OTI, dilakukan pada daerah dengan kelerengan datar
sampai sangat miring, dengan TBE yang tergolong sedang sampai sangat ringan, meliputi: (i) TBE sedang: SPL
5, 8 dan 19. (ii) TBE ringan: SPL 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 17. (iii)
TBE sangat ringan: SPL 19, 22, 23. Pola Olah Tanah Intensif (OTI) dengan
kelerengan sangat miring di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.
Kecenderungan yang terjadi pada pola OTI pada daerah penelitian yaitu
tindakan pengolahan tanah yang dilakukan kurang memperhatikan kaidah-kaidah
penerapan teknik konservasi, sebagai contoh pengolahan tanah dengan mengolah
tanah sedalam lebih dari 20 cm, teknik pengolahan tersebut perlu diperhatikan
mengingat dampak dari pengolahan tanah dengan pencangkulan terlalu dalam akan
menyebabkan semakin besarnya struktur tanah yang rusak sehingga akan
mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan. Hal tersebut sangat
perlu perhatian dalam rangka keberlanjutan usaha tani.
Lain halnya, dengan pola TOT yang tanpa melakukan
tindakan pengolahan tanah. Pola pengolahan secara TOT tidak memerlukan
penyiapan tanah. Pada daerah penelitian pola pengolahan tanah secara TOT
dilakukan pada satuan lahan: 20 dan 21. Pola pengolahan tersebut pada daerah
penelitian dicirikan oleh sangat sedikitnya gangguan terhadap permukaan tanah,
dan hanya dilakukan pembuatan lubang kecil untuk menanam serta adanya
penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa yang menutupi permukaan lahan. Untuk SPL
20 dan 21 dengan pengolahan tanah yang sama, yaitu secara TOT memiliki tingkat
bahaya erosi sangat ringan, TBE dalam kategori sangat ringan tersebut, faktor
yang menyebabkan antara lain yaitu faktor kedalaman tanah dan kemiringan
lereng.
2. Hasil Wawancara Tentang Pengelolaan Tanah Yang Dilakukan Oleh Petani
Pola pengelolaan tanah di Kecamatan Tlogowungu diketahui dari
hasil wawancara dan pengamatan secara langsung di lapangan. Pada umumnya usahatani pada lokasi penelitian
yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Oleh
karenanya pemilihan jenis tanaman yang diusahakan masih berorientasi pada jenis
komoditas seperti jagung, ketela pohon, dan tebu.
Pengolahan tanah yang dilakukan
oleh petani masih menggunakan cara konvensional, yaitu pengolahan tanah yang
dilakukan sederhana dengan menggunakan alat cangkul dan sejenisnya. Untuk SPL 15 misalnya, pengolahan tanah
dilakukan dengan pencangkulan sedalam 15 -20 cm pada seluruh areal lahan. Tujuan
dari pengolahan tanah tersebut yaitu untuk persiapan media tanam untuk tanaman
ketela pohon.
Dari hasil wawancara dengan salah seorang petani di
lokasi penelitian, tepatnya pada
lokasi SPL empat diketahui bahwa petani mengolah tanahnya hanya pada barisan
tanaman saja, selebar 60 cm dan dalamnya
berkisar antara 15–20 cm.
Alasan petani melakukan pengolahan tanah tersebut diantarannya adalah untuk mengurangi tanah
yang hilang pada saat musim penghujan, dimana terdapat endapan tanah akibat
dari hujan tersebut pada daerah rendah, selain hal tersebut keadaan lahan
dengan lereng yang sangat miring merupakan alasan petani melakukan pengolahan
tanah secara minimum.
Hasil wawancara tentang
pengelolaan tanah dengan petani disajikan pada Tabel 18.
G . Alternatif Pengelolaan Tanah Terbaik
Pengolahan tanah merupakan tindakan yang penting untuk menciptakan kondisi media perakaran yang mampu
mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Jadi, apabila kondisi fisik serta
kimia tanah sudah baik, maka pengolahan tanah tidak diperlukan. Dalam usaha
pengawetan tanah, cara pengolahan tanah sangat menentukan keberhasilannya.
Dapat ditegaskan walaupun pada tanah yang kritis telah dilengkapi
dengan bangunan-bangunan pengendali erosi akan tetapi kalau pengolahan tanahnya
dilakukan secara sembarangan, tidak mengikuti petunjuk-petunjuk pengelolaan
tanah yang baik dan benar, maka kritisnya tanah akan meningkat.
Pada daerah penelitian
ternyata pada sebagian besar lahan, pengolahan tanah dilakukan secara intensif
(OTI). Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami
yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar atau fauna, apabila pengolahan
tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kaitannya dengan erosi, pengolahan tanah akan merusak agregasi tanah akibat daya rusak mekanis dari alat-alat
pengolahnya, atau dapat pula menimbulkan penurunan kandungan bahan organik yang
berperanan besar dalam memelihara agregasi tanah. Penurunan kualitas agregasi
tanah akan menurunkan pula produktivitas tanah tersebut. Tanah yang diolah
secara berlebihan dapat mendatangkan ancaman terjadinya erosi sedang, berat dan
bahkan sangat berat, pada tanah yang
memiliki kedalaman dangkal dan berada pada kemiringan yang curam, pencangkulan
dilakukan sedalam mungkin, pembuatan larikan-larikan bagi tanaman tanpa
perhitungan yang matang atau tidak mengikuti petunjuk-petunjuk cara pengolahan
tanah yang baik, maka cara yang demikian berpotensi besar meningkatkan tingkat
bahaya erosi.
Berdasarkan konsep konservasi
tanah dan air, maka tindakan pengelolaan tanah terbaik untuk meminimalkan
dampak negatif erosi yang dapat diberikan pada lahan dengan variasi tingkat
bahaya erosi di Kecamatan Tlogowungu disajikan pada Tabel 19. Alternatif Pengelolaan Tanah Terbaik Pada Tiap Satuan Lahan Di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati Berdasarkan Konservasi Tanah Dan Air
SPL
|
Pengolahan Tanah
|
Teknik Konservasi Tanah dan Air
|
1
|
TOT
|
·
Teras saluran, T.guludan, T.kredit,T.datar, T.individu,
Dam pengendali,Dam penahan, Gully control.
·
enanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip
cropping, Penanaman penutup tanah, Kebun campuran (agroforestry,
farming forest)
·
Penserasahan, perlindungan mata air/ sungai
|
2
|
TOT
|
·
Teras saluran, T.guludan, T.kredit,T.bangku, T.datar,
T.individu,T.bangku putus, Bangunan terjunan,dam pengendali, Dam penahan
·
Penanaman tumpangsari, Penanaman menurut kontur, Strip
cropping,Penanarnan penutup tanah, Kebun campuran (agroforestry,
farming forest)
·
enserasahan
|
3
|
TOT*
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches), Dam pengendali, Bangunan terjunan, Hutan rakyat.
·
·
Penanaman
tumpangsari, Penanaman menurut kontur,
Strip cropping, Tanaman penutup tanah
·
Penserasahan, perlindungan mata air/ sungai
|
4
|
TOT
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches), Dam pengendali, Bangunan terjunan, Hutan rakyat.
·
Penanaman
tumpangsari, Penanaman menurut kontur,
Strip cropping, Tanaman penutup tanah
|
5
|
OTK
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunnng (Hill
side ditches)
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman
penutup tanah.
|
6
|
OTK*
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
T.bangku dengan mulsa penutup
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup
tanah.
|
7
|
OTK*
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
T.bangku dengan mulsa penutup
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup
tanah.
|
8
|
OTK
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman
penutup tanah.
|
9
|
TOT*
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung
·
Penanaman penutup tanah, Kebun campuran (agroforestry,
farming forest)
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman
penutup tanah.
|
10
|
OTI
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup
tanah.
|
11
|
OTI
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup
tanah.
|
12
|
OTI
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup
tanah.
|
13
|
OTI
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup
tanah.
|
14
|
OTI
|
·
.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·
Penanaman
tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup
tanah.
|
15
|
OTI
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip
cropping, Tanaman penutup tanah.
|
16
|
OTI
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip
cropping, Tanaman penutup tanah.
|
17
|
OTI
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip
cropping, Tanaman penutup tanah.
|
18
|
OTI
|
·
T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill
side ditches)
·
Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip
cropping, Tanaman penutup tanah.
|
19
|
OTI
|
-
|
20
|
OTI
|
-
|
21
|
OTI
|
-
|
22
|
OTI
|
-
|
23
|
OTI
|
-
|
Sumber: Hasil Analisis
Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
*) Terdapat penambahan teknik konservasi
berdasarkan faktor pembatas pada SPL
Tabel 19. Alternatif
Pengelolaan Tanah Terbaik Pada Tiap Satuan Lahan Di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten
Pati diperoleh dari analisis
karakteristik lahan dan tingkat bahaya erosi yang kemudian dicocokkan (matching)
dengan Lampiran 7. Arahan Teknik Konservasi Tanah Dan Air Departemen Kehutanan
1986. Sedangkan untuk pengolahan tanahnya, kriteria satuan lahan dengan TBE
sangat berat dan berat adalah dengan TOT, untuk satuan lahan dengan TBE sedang,
pengolahan tanah dengan OTK, dan untuk TBE ringan, pengolahan tanahnya secara
OTK pada satuan lahan dengan kemiringan lereng >15% dan pada lahan dengan
kemiringan kurang dari 15% pola pengolahan tanah dapat secara OTI. Dan untuk satuan
lahan dengan TBE sangat ringan, pengolahan tanah dilakukan secara OTI
Tabel 20.
Curah Hujan Dan Aliran Permukaan Dengan
Sistem TOT Dan Pengolahan Tanah Konvensional Di Ohio Amerika Serikat.
Tahun
|
Curah Hujan (mm)
|
Aliran Permukaan (mm)
|
|
TOT
|
Olah Tanah Konvensional
|
||
1979
|
1124
|
3,81
|
140,2
|
1980
|
1175
|
4,90
|
312,8
|
1981
|
1057
|
0,14
|
142,2
|
1982
|
889
|
0,00
|
113,3
|
1983
|
1027
|
0,00
|
*
|
1984
|
909
|
2,31
|
*
|
1985
|
929
|
0,01
|
*
|
1986
|
966
|
9,21
|
*
|
1987
|
841
|
0,15
|
*
|
1988
|
854
|
0,03
|
*
|
Sumber: Edward, 1991 dalam Undang Kurnia et al, 2004
* Tidak dilakukan lagi pengolahan tanah
secara konvensional
Dari Tabel 20. dapat
disimpulkan bahwa dengan TOT mampu mengurangi terjadinya aliran permukaan, yang
mana aliran permukaan mnerupakan salah satu faktor penyebab erosi.
Untuk tindakan konservasi pada
SPL 1 dan 3 salah satu alternatifnya yaitu dengan pembuatan teras bangku,
dimana pada SPL 1 dan 3 dari analisis USLE diketahui kendala utama adalah
faktor kemiringan lereng (LS).
Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara
memotong panjang lereng dan
meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan yang
berbentuk seperti tangga. Pada usahatani di lokasi penelitian, fungsi utama
dari teras bangku adalah: (1) memperlambat aliran permukaan; (2) menampung dan
menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak sampai merusak; (3)
meningkatkan laju infiltrasi; dan (4) mempermudah pengolahan tanah.
Efektivitas teras bangku sebagai pengendali erosi akan meningkat bila
ditanami dengan tanaman penguat teras di bibir dan tampingan teras. Rumput dan
legum pohon merupakan tanaman yang baik untuk digunakan sebagai penguat teras.
Teras bangku juga dapat diperkuat dengan batu yang disusun, khususnya pada
tampingan.
Peranan teras bangku didalam usaha pencegahan erosi ternyata cukup besar.
Pada tabel 21 dan tabel 22 dikemukaan
tentang efektifitas teras bangku didalam pengendalian erosi.
Tabel
21. Banyaknya Tanah Yang Terhanyutkan Pada Lahan Dengan Teras Bangku Dan Tidak
Diteras
Tahun Percobaan
|
Curah Hujan (mm)
|
Penghanyutan tanah (ton/ha)
|
|
Lahan dengan teras bangku
|
Tidak diteras
|
||
1938
|
2300
|
1,28
|
3,80
|
1940
|
3480
|
2,52
|
5,06
|
Sumber: Kartasapoetra 1987
Selanjutnya tabel 22.
memperjelas peranan penterasan terhadap erosi. Tabel 22 merupakan hasil
penelitian yang dilakukan lembaga penelitian tanah, pada lahan dengan jenis
tanah entisol di desa Tanjungharjo, Yogyakarta.
Tabel 22.
Besarnya Erosi Dan Aliran Permukaan
Pada Percobaan Selama 180 Hari di Desa Tanjungharjo.
No
|
Perlakuan
|
Erosi (ton/ha)
|
Aliran permukaan (% terhadap hujan)
|
1
|
Tanah tanpa tanaman
|
133,0
|
18,59
|
2
|
berteras bangku dengan
tanaman legum
|
1,6
|
3,15
|
3
|
berteras dasar lebar,
ditanami sorgum
|
4,6
|
5,62
|
4
|
monokultur sorgum
|
45,3
|
10,26
|
Sumber: Kartasapoetra 1987
Tentang
pembuatan teras, khususnya jenis teras bangku merupakan pembuatan yang terbaik
dalam mengatur aliran air di daerah-daerah yang lahannya miring. Pada lahan
yang berlereng panjang, kita akan mengetahui lajunya aliran air permukaan tanah
adalah cepat dan kejadian ini tentunya akan mengakibatkan pengikisan tanah yang
lebih besar. Tanpa dilakukannya penterasan pada lereng-lereng yang demikian
maka erosi pun akan berlangsung lebih cepat dan lebih besar. Pembuatan teras
bangku pada lereng yang panjang berarti mengurangi panjang lereng tersebut dan
ini berarti kecepatan laju aliran permukaan akan mengalami hambatan-hambatan,
tiap teras mampu melakukan hambatan tersebut dan dengan dibuatkannya
teras-teras maka akan dapat memperlambat laju aliran permukaan sehingga daya
angkut atau daya pengikisannya akan sangat lemah, yang kemudian memperkecil
terjadinya erosi bahkan infiltrasi air ke dalam
tanah akan meningkat.
Untuk Peta pengelolaan tanah
terbaik di Kecamatan Tlogowungu disajikan pada Peta 8.
------------------------------------------------------------------------------
JUDUL & KATA PENGANTAR
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
LAMPIRAN III
thanks for your comments